Alasan Poligami

PEMBAHASAN
1. Pengertian
Poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan”. Kata tersebut dapat mencakup pologini yakni “sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama”, maupun sebaliknya, yakni poliandri, di mana seorang wanita memiliki/mengawini sekian banyak lelaki.
2. Landasan Agama dan Negara
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd nikah. Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian pengikat: Cinta (mawaddah), Rahmah (kondisi psikologis yang muncul di dalam hati untuk melakukan pemberdayaan), & Amanah (ketenteraman).
وان خفتم الاتقسطوا فى اليتمى فَانْكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَثَ وَرُبَعَ فَاِنْخِفْتُْمْ اَلّاتَعْدِلُوا فَاوَاحِدَةً اَوْمَامَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ذلك ادنى الانعولوا
“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja,atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS.An-nisa’ 3).
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi pada ayat di atas: Pertama, ayat ini tidak membuat peraturan baru tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama dan adat istiadat masyarakat. Ia tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkanya. Ia, hanya berbicara tentang bolehnya poligami bagi orang-orang dengan kondisi tertentu. Itu pun diakhiri dengan anjuran untuk ber-monogami dengan firman-Nya: “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Kedua, firman-Nya “jika kamu takut” mengandung makna jika kamu mengetahui. Ini berarti siapa yang yakin atau menduga, bahkan menduga keras, tidak akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang yatim maupun yang bukan, maka mereka itu tidak diperkenankan melakukan poligami. Yang diperkenankan hanyalah yang yakin atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak, sayogianya tidak diizinkan berpoligami .
Perkawinan Nabi Muhammad Saw. dengan sekian banyak isteri jelas bukan untuk tujuan pemenuhan kebutuhan seksual, karena isteri-isteri beliau itu pada umumnya adalah janda-janda yang sedang atau segera akan memasuki usia senja. Di sisi lain, perlu disadari bahwa Rasul Saw. baru berpoligami setelah isteri pertamanya wafat. Perkawinan beliau dalam bentuk monogami itu berjalan selama 25 tahun. Setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya isteri pertama beliau (Kahdijah) barulah beliau berpoligami (menggauli ‘Aisyah Ra). Beliau ketika itu berusia sekitar 55 tahun, sedangkan beliau wafat dalam usia 63 tahun. Ini berarti beliau berpoligami hanya dalam waktu sekitar delapan tahun, jauh lebih pendek daripada hidup ber-monogami, baik dihitung berdasar masa kenabian lebih-lebih jika dihitung seluruh masa perkawinan beliau.
Dalam catatan sirah nabawiyah, kami mendapatkan ada sebelas orang wanita yang dinikahi oleh Rasulullah SAW, dua di antara mereka meninggal ketika Rasulullah SAW masih hidup sedangkan sisanya meninggal setelah beliau wafat. Nama-nama isteri beliau adalah:
1. Khodijah binti Khuwailid RA, ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di Mekkah ketika usia beliau 25 tahun dan Khodijah 40 tahun. Dari pernikahnnya dengan Khodijah Rasulullah SAW memiliki sejumlah anak laki-laki dan perempuan. Akan tetapi semua anak laki-laki beliau meninggal. Sedangkan yang anak-anak perempuan beliau adalah: Zainab, Ruqoyyah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Rasulullah SAW tidak menikah dengan wanita lain selama Khodijah masih hidup.
2. Saudah binti Zam?ah RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal tahun kesepuluh dari kenabian beberapa hari setelah wafatnya Khodijah. Ia adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya yang bernama As-Sakron bin Amr.
3. Aisyah binti Abu Bakar RA, dinikahi oleh Rasulullah SAW bulan Syawal tahun kesebelas dari kenabian, setahun setelah beliau menikahi Saudah atau dua tahun dan lima bulan sebelum Hijrah. Ia dinikahi ketika berusia 6 tahun dan tinggal serumah di bulan Syawwal 6 bulan setelah hijrah pada saat usia beliau 9 tahun. Ia adalah seorang gadis dan Rasulullah SAW tidak pernah menikahi seorang gadis selain Aisyah.
Dengan menikahi Aisyah, maka hubungan beliau dengan Abu Bakar menjadi sangat kuat dan mereka memiliki ikatan emosional yang khusus. Posisi Abu Bakar sendiri sangat pending dalam dakwah Rasulullah SAW baik selama beliau masih hidup dan setelah wafat. Abu Bakar adalah khalifah Rasulullah yang pertama yang di bawahnya semua bentuk perpecahan menjadi sirna.
Selain itu Aisyah ra adalah sosok wanita yang cerdas dan memiliki ilmu yang sangat tinggi dimana begitu banyak ajaran Islam terutama masalah rumah tangga dan urusan wanita yang sumbernya berasal dari sosok ibunda muslimin ini.
4. Hafsoh binti Umar bin Al-Khotob RA, beliau ditinggal mati oleh suaminya Khunais bin Hudzafah As-Sahmi, kemudian dinikahi oleh Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah. Beliau menikahinya untuk menghormati bapaknya Umar bin Al-Khotob.
Dengan menikahi hafshah putri Umar, maka hubungan emosional antara Rasulullah SAW dengan Umar menjadi sedemikian akrab, kuat dan tak tergoyahkan. Tidak heran karena Umar memiliki pernanan sangant penting dalam dakwah baik ketika fajar Islam baru mulai merekah maupun saat perluasan Islam ke tiga peradaban besar dunia. Di tangan Umar, Islam berhasil membuktikan hampir semua kabar gembira di masa Rasulullah SAW bahwa Islam akan mengalahkan semua agama di dunia.
5. Zainab binti Khuzaimah RA, dari Bani Hilal bin Amir bin Sho?sho?ah dan dikenal sebagai Ummul Masakin karena ia sangat menyayangi mereka. Sebelumnya ia bersuamikan Abdulloh bin Jahsy akan tetapi suaminya syahid di Uhud, kemudian Rasulullah SAW menikahinya pada tahun keempat Hijriyyah. Ia meninggal dua atau tiga bulan setelah pernikahannya dengan Rasulullah SAW .
6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah RA, sebelumnya menikah dengan Abu salamah, akan tetapi suaminya tersebut meninggal di bulan Jumada Akhir tahun 4 Hijriyah dengan menngalkan dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW pada bulan Syawwal di tahun yang sama.
Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormati Ummu Salamah dan memelihara anak-anak yatim tersebut.
7. Zainab binti Jahsyi bin Royab RA, dari Bani Asad bin Khuzaimah dan merupakan puteri bibi Rasulullah SAW. Sebelumnya ia menikahi dengan Zaid bin Harits kemudian diceraikan oleh suaminya tersebut. Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW di bulan Dzul Qo?dah tahun kelima dari Hijrah.
Pernikahan tersebut adalah atas perintah Alloh SWT untuk menghapus kebiasaan Jahiliyah dalam hal pengangkatan anak dan juga menghapus segala konskuensi pengangkatan anak tersebut.
8. Juwairiyah binti Al-Harits RA, pemimpin Bani Mustholiq dari Khuza?ah. Ia merupakan tawanan perang yang sahamnya dimiliki oleh Tsabit bin Qais bin Syimas, kemudian ditebus oleh Rasulullah SAW dan dinikahi oleh beliau pada bulan Sya?ban tahun ke6 Hijrah.
Alasan beliau menikahinya adalah untuk menghormatinya dan meraih simpati dari kabilhnya (karena ia adalah anak pemimpin kabilah tersebut) dan membebaskan tawanan perang.
9. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan RA, sebelumnya ia dinikahi oleh Ubaidillah bin Jahsy dan hijrah bersamanya ke Habsyah. Suaminya tersebut murtad dan menjadi nashroni dan meninggal di sana. Ummu Habibbah tetap istiqomah terhadap agamanya. Ketika Rasulullah SAW mengirim Amr bin Umayyah Adh-Dhomari untuk menyampaikan surat kepada raja Najasy pada bulan Muharrom tahun 7 Hijrah. Nabi mengkhitbah Ummu Habibah melalu raja tersebut dan dinikahkan serta dipulangkan kembali ke Madinah bersama Surahbil bin Hasanah.
Sehingga alasan yang paling kuat adalah untuk menghibur beliau dan memberikan sosok pengganti yang lebih baik baginya. Serta penghargaan kepada mereka yang hijrah ke Habasyah karena mereka sebelumnya telah mengalami siksaan dan tekanan yang berat di Mekkah.
10. Shofiyyah binti Huyay bin Akhtob RA, dari Bani Israel, ia merupakan tawan perang Khoibar lalu Rasulullah SAW memilihnya dan dimeredekakan serta dinikahinya setelah menaklukan Khoibar tahun 7 Hijriyyah.
Pernakahan tersebut bertujuan untuk menjaga kedudukan beliau sebagai anak dari pemuka kabilah.
11. Maimunah binti Al- Harits RA, saudarinya Ummu Al-Fadhl Lubabah binti Al-Harits. Ia adalah seorang janda yang sudah berusia lanjut, dinikahi di bulan Dzul Qa?dah tahun 7 Hijrah pada saat melaksanakan Umroh Qadho.
Dari kesemua wanita yang dinikahi Rasulullah SAW, tak satupun dari mereka yang melahirkan anak hasil perkawinan mereka dengan Rasulullah SAW, kecuali Khadijatul Kubra seperti yang disebutkan di atas. Namun Rasulullah SAW pernah memiliki anak laki-laki selain dari Khadijah yaitu dari seorang budak wanita yang bernama Mariah Al-Qibthiyah yang merupakan hadiah dari Muqauqis pembesar Mesir. Anak itu bernama Ibrahim namun meninggal saat masih kecil.
Dalam udang-undang Negara sendiri juga tidak menyebutkan perkataan yang sifatnya menganjurkan dan apalagi mewajibkan, undang-undang Negara hanya memberikan peraturan dan syarat, sehingga ada batasan-batasan bagi orang yang mau menjalankan poligami. Di bawah ini disebutkan cuplikan undang-undang mengenai peraturan dan persyaratan dibolehkannya atas seorang laki-laki melakukan poligami.


Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.
Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
3. Hukum Poligami
Hukum asal pernikahan dalam islam adalah poligami, hal ini terbukti dari surah An-Nisa’ yang menyebutkan فَانْكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَثَ وَرُبَعَ ” maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.” Namun, hal ini juga tidak serta merta mengharuskan semua orang laki-laki menikahi lebih dari satu istri. Karena dalam ayat selanjutnya juga menyebutkan bahwa فَاِنْخِفْتُْمْ اَلّاتَعْدِلُوا فَاوَاحِدَةً “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja” dalam isi yang tersirat dalam kalimat فَاِنْخِفْتُْمْ اَلّاتَعْدِلُوا mempunyai makna ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi seseorang dalam melaksakan poligami,sehingga akan terpenuhinya arti اَلّاتَعْدِلُو. Mencakup hak-hak istri-istrinya:
A. Memiliki rumah sendiri
B. Menyamakan para istri dalam masalah giliran
C. Tidak boleh keluar dari rumah istri yang mendapat giliran menuju rumah yang lain
D. Batasan Malam Pertama Setelah Pernikahan
E. Wajib menyamakan nafkah
F. Undian ketika safar
G. Tidak wajib menyamakan cinta dan jima’ di antara para istri
Ketika kita memahami ayat tentang poligami tersebut hukumnya bukan hanya mubah, dalam artian ketika kita melaksanakannya tidak mendapat pahala dan begitu juga ketika kita meninggalkanya. Poligami dihukumi sunah ketika kita melihat ayat tersebut terdiri dari kalimat amr yang sifatnya anjuran yang disertai syarat (dalam kalimat ayat selanjutnya) dan didukung oleh atsar dan hadits yang mengandung limited polygamy
أن النبي صلي الله عليه وسلم قال لعلاذين اسية الثقغي وقد اسلم و تحته عسر سوة أحترمنهن أربعا وفارق سائرهن
Artinya:
“Sesungguhnya Nabi saw telah bersabda Ghayalan bin Umayyah Al-Tsaqafi yang telah memeluk Islam dan memiliki sepuluh orang istri: “Pilihlah empat orang dari mereka dan ceraikanyang lain”.
Hal ini sependapat dengan pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang menyebutkan, Berpoligami itu mengandung banyak maslahat yang sangat besar bagi kaum laki-laki, kaum wanita dan Ummat Islam secara keseluruhan. Sebab, dengan berpoligami dapat dicapai oleh semua pihak tunduknya pandangan (Ghadhdhul bashar), terpeliharanya kehormatan, keturunan yang banyak, lelaki dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan dan kebaikan para istri dan melindungi mereka dari berbagai faktor penyebab keburukan dan penyimpangan.
Tetapi orang yang tidak mampu berpoligami dan takut kalau tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup kawin dengan satu istri saja, karena Allah swt berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, (QS. an-Nisaa`:3)
Semoga Allah swt memberi taufik kepada segenap kaum muslimin menuju sesuatu yang menjadi kemaslahatan dan keselamatan bagi mereka di dunia dan akhirat.


PENUTUP
Poligami merupakan perkawinan lebih dari satu isteri, yang sebenarnya mempunyai hukum asal dari pernikahan itu sendiri. Poligami tidak dianjurkan dan tidak diharuskan dalam agama dan Negara, namun, diperbolehkan dengan syarat bisa bersikap adil dalam memenuhi kebutuhan hak-hak istri-istrinya.
Hak-hak istri dalam poligami:
A. Memiliki rumah sendiri
B. Menyamakan para istri dalam masalah giliran
C. Tidak boleh keluar dari rumah istri yang mendapat giliran menuju rumah yang lain
D. Batasan Malam Pertama Setelah Pernikahan
E. Wajib menyamakan nafkah
F. Undian ketika safar
G. Tidak wajib menyamakan cinta dan jima’ di antara para istri
Hukum melasanakan poligami adalah sunah, bukan mubah.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Sheikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq, 2003, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor ü Al-Wazan, Amin bin Yahya, 2004, “Fatwa-Fatwa tentang Wanita Jilid 2”, Darul Haq, Jakarta ü As Sa’dani , As Sayyid bin Abdul Aziz, 2004, “Istriku Menikahkanku”, Darul Falah, Jakarta ü As Salafiyah , Ummu Salamah, 1425 H, Persembahan Untukmu Duhai Muslimah, , Pustaka Haura, Jogjakarta ü Sabiq, Sayyid, tt, “Fikih Sunnah 6”, cet. Ke-15, PT Al Ma’arif, Bandung ü Tim Konsultan Majalah Nikah, 2004, “Nyerobot Bisa Bikin Repot, “ , Majalah Nikah Vol.3, No.9, Desember 2004, Sukoharjo