Modernisme Agama Indonesia

Sejak memasuki abad XX, Islam tradisionla di Indonesia disaingi oleh suatu gerakan baru yang dikenal dengan nama Islam modernis. Inspirasi dan sumber intelektual gerakan baru ini berasal dari para reformis Timur Tengah, seperti Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935).
Inti dari modernisme Islam adalah keyakinan bahwa peradaban peradaban Islam sedang mengalami kemerosotan yang serius. banyak dunia Islam saat itu dalam keadaan terjajah oleh bangsa Eropa Kristen. Kejayaan intelektual dan ilmiah yang dialami Islam beberapa abad sebelumnya, telah punah dan sebagian besar masyarakat Islam sedang menderita kemunduran Ekonomi. bagi muslim di mana pun, kemerosotan itu dirasa tidak selaras dengan keyakinan mereka bahwa Islam adalah kepercayaan yang benar, yang didasarkan atas firman Allah yang paling lengkap dan final. Menurut para modernis, kemunduran Islam disebabkan oleh kemandekan internal yang disebabkan sikap taklid pada pemikiran madzab abad pertengahan, serta akibat tercemarnya praktik Islam oleh amalan dan kepercayaan yang tidak bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah.
Menurut kaum modernis, Islam hanya dapat diperkukuh kembali dengan cara meembebaskan diri dari cengkeraman tradisi dan mengikis penyimpangan, serta kontaminasi nilai-nilai non-Islam. prinsip gerakan ini adalah kembali pada Al-qur'an dan Sunnah nabi. Tafsir-Tafsir pada abad pertengahan tidak lagi dipatuhi tanpa dipertnyakan.
Para modernis ingin mereformasi Islam serta menyesuaikannya dengan dunia modern. Mereka berusaha agar metode-metode pendidikan, oraganisasi dan ilmu yang telah menunjang kemajuan ekonomi, dan kekuatan politik Eropa itu direngkuh oleh kaum muslimin. Jika Ingin Islam kuat kembali., umat harus belajar dari peradaban lain tanpa mengkompromikan ajaran-ajaran pokoknya.
Berdasarkan peninjauan kembali yang telah mereka lakukan terhadap hukum Islam, para modernis Indonesia mengkritik banyak aspek dari praktik-pratik tradisional. Mereka menolak praktik talkin, kewajiban membaca doa Qunut pada shalat subuh, mengucapkan niat sebelum shalat, dan pelaksanaan shalat terawih sebanyak dua puluh tiga rakaat, bukan sebelas rakaat karena praktik itu tersebut tidak ada di dalam Al-qur'an dan ataupun sunnah.  mengharapkan berkah dari orang suci yang sudah wafat dengan cara berziarah dan tawassul dianggap syirik atau menyekutukan Allah. Kaum modernis juga mengkritik praktik sufi para tradisionalis. Mereka juga berkeberatan atas khotbah Jum'at berbahasa arab yang tidak dipahami sebagain besar jama'ah.

"Greg Fealy. IJTIHAD POLITIK ULAMA. hal 29"