Pada dasarnya seorang guru hanyalah sebuah media,
dalam artian bahwa tugas guru adalah untuk memudahkan, menyederhanakan apa-apa
yang seharusnya menjadi pelajaran bagi murid, sehingga para murid lebih mudah dalam
menyederhanakan pengetahuan. tidak salah ketika kita mendefinisikan bahwa
belajar tidak harus disekolah, karena memang proses perantara masuknya
pengetahuan tidak serta merta hanya dilakukan oleh guru disekolah hanya saja
ketika hal ini terjadi maka dibutuhkan renungan atau pemikiran yang lebih lama,
oleh sebab fungsi guru sebagai orang yang memudahkan dan menyederhanakan tidak
ada.
Nah, masalahnya pada prosesnya (pembelajaran) seorang guru lebih sering
menjadikan dirinya bukan sebagai media, namun lebih sebagai penentu. dengan
artian bahwa ketika seorang murid bisa ia bentuk dan ia jadikan apa saja,
sehingga ketika tujuan tersebut maka yang terjadi adalah sebuah keniscayaan
yang keluar sebagai jalan justifikasi mutlak yang akhirnya muncul stigma negatif.
Coba kita pahami iktibar pada sejarah-sejarah para nabi, contoh kecilnya kisah
nabi nuh. disana diceritakab bahwa kan'an anak nabi nuh bukan termasuk orang
yang beriman, walaupun nabi nuh disini selaku orangtua mempunyai tugas yang
sama sebagai guru yakni memberikan kemudahan dan menyederhanakan Ilmu Allah
kepada manusia, namun kan'an tidak seperti yang diharapkan oleh nabi nuh. hal
ini mengisyaratkan bahwa guru tidak bisa mencetak namun hanya sebagai perantara
, sehingga salah besar ketika seorang guru mampu membentuk, salah besar ketika
guru memberikan justifikasi dengan stigma negatif.
Kedepannya
tentunya diperlukan pemahaman terhadap fungsi guru pada proses belajar
mengajar, sehingga diharapkan tidak terjadi lagi justifikasi negatif yang pada
dasarnya mempunyai komposisi jelek pada perkembangan murid selanjutnya.
(refleksi dari pemikiran KH. Muslihuddin Abbas, pengasuh Pon-Pes Fatchul 'Ulum
mengenai fungsi guru).